Laki-laki yang telah Baligh dan Belum Punya Tempat Tinggal Pribadi
Properti, rumah tinggal. Benda yang menjadikan sebagian laki-laki yang telah baligh, seolah tidak pernah punya tabungan banyak. Disebabkan rumah tinggal, biasanya perlu budget banyak untuk direalisasi. Dengan maupun tidak mendapat hibah atau waris tanah dari orang tua.
Di satu sisi, rumah tinggal itu merupakan salah satu kebutuhan primer.
Dengan kata lain, jika anda seorang laki-laki, telah baligh dan telah memiliki mobil, namun tempat tinggal masih rental, maka dapat dikatakan miskin. Walaupun telah memenuhi kebutuhan tersier (mobil pribadi non niaga)
Sebab miskin itu adalah kurang mampu memenuhi kebutuhan pokok (semisal sandang, pangan, hunian, pendidikan, dan kesehatan). Sedangkan fakir itu yakni orang yang membutuhkan, orang tak punya, orang ‘tak berbenda’.
Dan sebaliknya, jika ada seorang laki-laki, tinggal di hunian yang ukurannya kecil, katakanlah hanya gubuk, tanahnyapun hanya hibah orang tua, bangunannya pun hanya material bekas atau cari di alam, tapi punya sendiri, sandang cukup, pangan cukup, pendidikan cukup, untuk kesehatan media ada. Maka tidak dapat dikatakan miskin, apalagi fakir. Sebab miskin itu kurang mampu dan tidak cukup, dan fakir itu tak berbenda.
Ironisnya adalah, di sekitaran bulan ramadhan, ada tradisi yang namanya pulang kampung.
Dan pulang kampung di masa kini, apabila telah menggunakan pesawat atau kapal, atau beda pulau, lumrahnya memakan budget yang cukup besar jika status sosialnya menengah hingga menengah ke bawah.
Dan tahukah anda permasalah para muda-mudi zaman sekarang?
Hegemoni bahwa nikah itu ‘mahal’. Dari resepsi, hunian, dan lainnya.
Dan biaya pulang kampung itu, terkadang sebagian orang/ keluarga inti yang belum punya rumah, 10 kali pulang kampung saja, sudah bisa beli tanah. Bahkan ada kembaliannya. 15 kali pulang kampung, bisa saja sudah jadi satu rumah.
Jadi, pulang kampung dan tidak pulang kampung itu berpengaruh terhadap miskin dan tidak miskinnya seorang laki-laki atau keluarga inti yang sudah punya Kartu Keluarga sendiri namun belum memiliki atap sendiri.
Maka dalam kondisi yang demikian, alasan untuk tidak pulang kampung itu adalah diperlukan untuk kurun waktu tertentu bagi segelintir orang. Salah satunya bagi laki-laki yang telah baligh atau suatu keluarga inti yang belum punya hunian sendiri. Baik itu hingga harga tiket turun, hingga ada program mudik gratis bagi warga negara kurang mampu, atau hingga miskin itu lepas darinya.
Seorang Ahlus Sunnah yang Murni dengan Kondisi Kampung Halaman yang Menyimpang dalam Hari Raya
Apakah anda dapat mengatakan atau mengetikkan “Saya ahlus sunnah wal jamaah”? atau “saya sunni”? atau “saya orang yang berupaya menapaki jalan para salafus shalih”?
Jika iya, maka semua orang bisa mengaku-ngaku ahlus sunnah wal jamaah.
Namun apakah semua orang yang mengaku ahlus sunnah wal jamaah adalah termasuk ke dalam ahlus sunnah wal jamaah?
Di situlah masalahnya.
Tak ayal dapat anda temukan di dunia ini suatu kumpulan manusia dalam jumlah besar, yang secara KTP muslim, secara pengakuan muslim, namun dalam praktiknya, tidak bersedah diri kepada Tuhan, tidak berserah diri kepada syariat Tuhan. Sebagian boleh jadi menampakkan diri dalam perkara ibadah, namun begitu lepas dari jangkauan hukum atau jangkauan penegakkan keadilan, maka lain lagi perbuatan yang dilakukan. Sebagian lagi merasa ringan untuk merayakan apapun secara liberal. Percaya diri dengan amalan yang dilakukan, namun dalam ketidak tahuan terkait tuntunan amalan yang dikerjakan. Apakah termasuk tuntunan wali Allah atau tuntunan wali setan.
Maka terkadang sebagian orang sebagaimana kondisi tempat kembali di atas, memerlukan alasan yang legal, alasan yang benar, untuk tidak kembali kepada tempat kembali yang demikian selama kurun waktu tertentu. Apakah selama prosesi perayaan itu berlangsung, atau hingga tiadanya perkara-perkara baru di tempat kembali.
Bisa jadi pada sebagian kondisi di muka bumi, merumahkan diri atau uzlah, merupakan aksi yang tepat untuk dilakukan seorang muslim.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya, ‘Siapakah manusia yang paling utama, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang Mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.’ Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian seorang laki-laki yang beruzlah di suatu bukit untuk beribadah kepada Rabb-nya’.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Untuk menjalankan ketakwaan kepada Allah dan meninggalkan kejahatan manusia.”
Shahih: HR. Bukhari, No. 2786; Muslim, No. 1888.
Dari Abu Sa’id al-Khudri juga berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja tiba (suatu zaman) harta seorang muslim yang paling baik ialah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi dengan membawa agamanya lantaran takut terkena fitnah”
Shahih: HR. Bukhari, No. 19, 3300, 3600, 6495, 7078.