وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا – ١٨
Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.
(QS. An-Nisa [4]: 18)
Sekarang katakanlah manusia berbuat dosa. Sepanjang tahun dosa itu disimpan. Untuk diniatkan menunggu pada hari raya idul fitri. Lalu pada saat datang waktunya, ia mengambil telepon pintar. Lalu mengucapkan,
“Mohom maaf lahir dan bathin.”
Lalu merasa dosa sudah hilang. Sebab merasa sudah minta maaf.
Sementara dosa yang dilakukan, memerlukan penegakkan keadilan tertentu atau qisas untuk diberlakukan kepadanya. Dan untuk mengembalikan hak pihak yang dizalimi.
Lantas karena rencana minta maaf pada momentum idul fitri itu telah terlaksanakan, maka ringanlah baginya untuk membuat kejahatan atau dosa yang serupa.
Maka adakah yang dapat menjamin kesalahan atau dosa itu tuntas walaupun tidak diulangi kembali?
Maka maafkanlah orang-orang yang memahami pentingnya pengakuan, pentingnya penyesalan, memahami dan diberi taufik berkenaan dengan qisas, memahami apa itu kafarat, memahami syarat tobat dari dosa yang dilakukan kepada manusia. Dan jangan terlalu mudah memaafkan orang-orang yang keras dalam kefasikannya lagi tidak layak untuk dibelas kasihi. Sebab hal tersebut justru malah akan membuka kelanggengan jalan kemungkaran, serta memupuk kesombongan. Oleh sebab itu, sifat terlalu mudah memaafkan itu justru sifat yang tingkat bahayanya sangat tinggi. Dan bahkan dapat berpotensi melebihi bahaya dari dosa atau kejahatan itu sendiri.