Karena berjalan di atas agama yang lurus dalam kemiskinan itu perlu iman yang solid, sedangkan orang tua sendiri tidak jamin memiliki iman yang solid untuk diwariskan kepada anak-anaknya.


Mau beli kitab agama, uang. Mau beli pakaian yang layak, uang. Mau sekolah agama, uang. Apa-apa uang. Tinggal di rumah kardus? pun iya, kardus itu juga uang. Apalagi rumah sungguhan.

Mengapa generasi salaf, bisa begitu mapannya dalam keimanan dan agama, sementara mereka belajar agama dan iman tidak pakai banyak uang?

Karena mereka belajar, gratis. Pendidikan di zaman mereka, gratis. Masuk ‘sekolah’ gratis. Tidak ada pungutan uang pembangunan. Tidak ada SPP. Tidak ada biaya semester. Tidak ada biaya apapun.

Rumah, buat dari tanah liat yang dibentuk kotak-kotak dan disusun. Atap dari pelepah kurma. Segalanya gratis dan dari alam.

Adapun kini, mau bekerja saja, rute mainstream-nya yakni:

  1. sekolah dasar
  2. sekolah menengah pertama
  3. sekolah menengah atas/ kejuruan/ sederajat
  4. kuliah/ universitas/ akademi

Sebagian lagi mungkin ada yang mensyaratkan harus memiliki pengalaman minimal dua tahun dengan hal-hal yang akan dikerjakan.

Untuk pengalaman itu terkadang manusia zaman sekarang harus punya modal kendaraan. Smartphone yang intinya harus bisa terima pesan dari grup atau rekan kerja/ atasan/ bawahan. Terkadang harus berdomisili pada lokasi kerja. Rumah dinas atau rumah tinggal aglomerasi tidak disediakan, pikir sendiri masalah pengadaan dan kelayakannya. Terkadang untuk keperluan kerja agar tidak diintervensi atau sembarang di-pivot oleh kepentingan yang menyimpang anda harus bermodal sendiri. Terkadang untuk mencegah membuka pintu penyunatan anggaran pengadaan oleh wakil-wakil rakyat anda juga harus bermodal sendiri.

Uang.

Sebagian orang tua yang paham hidup, mengerti bahwa hutan belantara lebih aman daripada kota metropolitan yang penuh tipu daya.

Tidak kuat urusan dunia, maka pilihannya hanya kuat iman. Jika iman tidak kuat, maka pilihannya hanya uzlah atau terombang-ambing oleh hegemoni atau kata-kata yang tidak berguna atau tidak bermanfaat.

Mungkin sebagian bertanya mengapa sebagian besar akademisi jika baca tulisan bahasa inggris agak familiar sedangkan bata alif-ba-ta saja bisa jadi ada yang masih terbata-bata? Sebab kiblat ilmu-ilmu dunia untuk mencari uang itu banyak dari barat, dengan sumber literatur atau sumber ilmu berbahasa inggris. Bukan bahasa arab.

Mengapa orang tua memodali laptop anak hingga berjuta-juta atau bahkan puluhan juta ringan sedangkan puluhan ribu untuk belajar mengaji berat? Karena laptop bisa dipakai kerja, bahkan primer untuk bisa diterima kerja. Atau minimal bisa mengerjakan pekerjaan kantor di rumah, sebab properti kantor itu untuk di kantor. Sedangkan mengaji, jika mengaji lalu tiba-tiba gunung emas pindah ke teras tempat anda menerima tamu? Lalu dengan gunung emas itu tidak perlu bekerja lagi dan bisa full time mengurus dan fokus kepada agama? Jika iya, maka ujian keimanan dan ujian kesabaran itu tidak ada. Pintu pahala tanpa batas itu, tidak ada.

Belum lagi jika anda mendapati dalil terkait menjual ayat Tuhan dengan harga murah.

وَلَا تَشْتَرُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ ثَمَنًا قَلِيْلًاۗ اِنَّمَا عِنْدَ اللّٰهِ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ – ٩٥

Dan janganlah kamu jual perjanjian (dengan) Allah dengan harga murah, karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(QS. An-Nahl [16]: 95)

اِشْتَرَوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ثَمَنًا قَلِيْلًا فَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِهٖۗ اِنَّهُمْ سَاۤءَ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩

Mereka memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah, lalu mereka menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang mereka kerjakan.

(QS. At-Taubah [9]: 9)

اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ – ٤٤

Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.

(QS. Al-Maidah [5]: 44)

اِنَّ الَّذِيْنَ يَشْتَرُوْنَ بِعَهْدِ اللّٰهِ وَاَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيْلًا اُولٰۤىِٕكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللّٰهُ وَلَا يَنْظُرُ اِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ – ٧٧

Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.

(QS. Ali Imran [3]: 77)

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ – ١٨٧

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan.

(QS. Ali ‘Imran [3]: 187)

وَاِنَّ مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَمَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ خٰشِعِيْنَ لِلّٰهِ ۙ لَا يَشْتَرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ – ١٩٩

Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

(QS. Ali ‘Imran [3]: 199)

وَاٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُوْنُوْٓا اَوَّلَ كَافِرٍۢ بِهٖ ۖ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۖوَّاِيَّايَ فَاتَّقُوْنِ – ٤١

Dan berimanlah kamu kepada apa (al-Qur’an) yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah, dan bertakwalah hanya kepada-Ku.

(QS. Al-Baqarah [2]: 41)

فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتٰبَ بِاَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هٰذَا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ لِيَشْتَرُوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗفَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا كَتَبَتْ اَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُوْنَ – ٧٩

Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.

(QS. Al-Baqarah [2]: 79)

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَشْتَرُوْنَ بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًاۙ اُولٰۤىِٕكَ مَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ اِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللّٰهُ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ ۚوَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ – ١٧٤

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya, dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.

(QS. Al-Baqarah [2]: 174)

Mungkin sebagian dari manusia setelah menerima informasi berkenaan dengan “menjual ayat dengan harga murah” tersebut, langsung terbesit sesosok ustadz/ ustadzah, yang berdiri di atas mimbar atau di depan kelas, lalu bicara tentang ayat, lalu tidak punya usaha atau pekerjaan lain untuk menafkahi diri dan keluarga inti. Atau seorang lelaki/ pendakwah panggilan, lalu bicara agama di atas mimbar lalu dibayar, lalu dengan itu dakwah dijadikan profesi, yang mana semakin mahal harga kendaraannya maka prestis atau tarif dakwahnya semakin tinggi? Lalu ia membayangkan ia atau keturunannya menjadi pendakwah bayaran itu?

Walaupun arahnya benar, bekerja untuk nafkah, berdakwah untuk agama, tapi paham demikian cukup keliru. Adapun menjual ayat dengan harga murah dapat semisal pengacara yang menggunakan pasal-pasal karet, dalam rangka atau niat membela yang bayar, bukan membela yang benar. Menggunakan ayat untuk kepentingan pribadi/ golongan, bukan untuk objektifitas. Dapat juga dalam konteks mengubah ayat-ayat lalu menerangkan bahwa ayat-ayat itu dari Tuhan.

Maka dengan paham seperti itu, ilmu agamapun kurang begitu laku. Seperti sistem operasi komputer yang versi minimal install. Hanya diambil yang rukun-rukun saja, atau yang lumrah-lumrah saja. Lalu sisa kehidupan untuk mencari kehidupan dunia. Mengingat banyaknya waktu yang diperlukan untuk menghapal sekian banyak dalil naqli agama. Memahaminya dengan interpretasi yang benar. Belum lagi murajaah. Belum lagi perluasan pengetahuan.

Menjadi ahli agama yang benar-benar lurus, maka harus memiliki pola pikir yang menjadikan derita itu makanan harian yang nikmat. Sebab jika ada integritas, maka ia makan makanan harian, dari hasil jerih payah sendiri, bukan hasil dari ‘upah dakwah’. Sementara hidupnya/ mayoritas waktunya harus didedikasikan untuk agama. Menghapal, memahami, mengamalkan, mengajarkan, istiqamah, murajaah. Maka secara logika, bagaimana mungkin bisa benar-benar lurus dalam beragama jika ingin benar-benar lurus? Maka pilihan yang tersisa bagi ‘ngotot’ lurus dalam kesempurnaan yakni mengurangi jam tidur. Dan itu belum termasuk mengamalkan shalat malam.


Bila dilihat dari kilas singkat cuplikan kehidupan di atas, maka memang benar, lumrah saja para orang tua lebih berat untuk mencukupkan duniawi dari anak-anak mereka sebelum anak-anak mereka tercebur dalam ke dalam agama secara lebih dalam. Dengan harapan dunia itu dapat menjadi alas kaki mereka. Bukan sebagai tujuan dakwah. Salahkah jika ada orang tua berasumsi demikian? Kemungkinan besar, tidak salah. Sebab boleh jadi mereka telah banyak melihat pengajar Islam, yang mana tidak punya pegangan finansial apapun, namun berlomba-lomba dalam bermegah-megahan atas pendapatan hasil dari berdakwah. Dan menjadikan dai sebagai profesi. Atau menggantungkan hidup dan pendapatan sepenuhnya pada aktifitas dakwah. Memandang hal tersebut tidak terhormat untuk dijadikan pendapatan.

Kendatipun demikian, boleh jadi anda juga temukan dai yang sama-sama panggilan. Sama-sama menerima derma atas waktu dan atensi untuk dakwah. Namun mengikuti jejak nabi. Yakni tidak menjadikannya keseharian untuk makan. Sebab sudah ada pendapatan sendiri. Hasil dari usaha atau kerja. Untuk dinafkahkan kepada diri dan keluarga inti sebagai nafkah harian. Boleh jadi anda menemukannya sebagai seorang kurus yang tidak buncit. Sebab banyak waktu bangun dan tidak banyak makan.


Lantas bagaimana jika ada orang tua yang yakin terhadap Tuhan berkenaan rejeki anaknya, dan mengarahkan anaknya sepenuhnya kepada agama? Juga tidak salah. Sebab memang rejeki sudah ditetapkan Tuhan (lihat arbain an-Nawawi No. 4). Dan bahkan bisa jadi memang orang tuanya ingin anaknya agar menjadi orang miskin dan hidup miskin. Sebab memang miskin itu lebih afdhal bagi orang yang meyakini dalil-dalil umum pada Riyadhus Shalihin bab 48 dan 55, atau khususnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Orang-orang fakir akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu lima ratus tahun”

Shahih: HR. Ahmad (II/ 296); Tirmidzi No. 2354; dishahihkan dalam al-Jami’ 8076.


Manapun pilihan orang tua, lumrahnya adalah yang terbaik untuk anaknya versi mereka. Baik pilihan di atas jalan-jalan yang diridhai Tuhan ataupun tidak, lumrahnya selama masih hidup di dunia, ada saja yang namanya masalah itu. Hanya saja, masalah itu pada akhirnya lebih besar, jika tidak di atas dasar yang benar, walapun melakukan hal yang sama dengan orang yang memiliki dasar yang benar dengan paham yang benar.

Apa dasar anda? Dapatkah anda sebagai orang tua memberikan dasar yang benar secara dalil naqli dengan interpretasi yang benar?


Apapun itu, jika anda rasa anda telah memiliki dasar yang benar, maka sebaiknya jangan terombang-ambing oleh perkataan atau gelombang sugesti kebanyakan manusia.

Sebagai ilustrasi, misal anda sekarang pegang cangkul. Anda giat bekerja. Sebab anda giat yakni karena mood sedang baik dan dalil berikut

فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ – ٧

Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain),

(QS. Asy-Syarh [94]: 7)

Lantas ada orang lain yang melihat anda dan yang terlintas dalam benaknya adalah

وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ – ٨

dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.

(QS. Al-‘Adiyat [100]: 8)

Maka yang menjadi tanggung jawab anda adalah amal perbuatan anda, dan anda tidak bertanggung jawab atas sangka dari orang lain yang tidak benar dasar adanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *