[is under constructions]
Mana mending, swasta atau ASN? Ikut takdir sajalah.
Swasta, dapat berarti wiraswastawan (praktisi atau pelaku swasta) dapat juga menjadi pegawai swasta. Wiraswasta cakupannya sangat luas. Yang mana intinya dagang atau usaha atau karyawan dari pedagang atau pengusaha.
Dagang atau usaha mengacu pada jual beli. Yang dijual, dapat berupa kata benda dapat juga jasa. Hanya saja istilah usaha mengacu kepada konotasi yang lebih dari sisi prestis. “Pedagang” lebih tepat untuk konteks jual beli dalam skala kecil sedangkan “Pengusaha” untuk sesuatu yang sifatnya memang legal, besar atau bisa juga berarti pemilik sistem jual beli yang kompleks.
Jadi jika pintu rejeki itu banyak di ranah swasta, memang demikian faktanya.
Namun jika bicara takdir, bisa jadi lain cerita. Boleh jadi ada di antara orang di luar sana yang begitu menjadi wiraswastawan, sepertinya susaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah sekali. Namun ketika jadi selain swasta, tak kalah susahnya, atau lebih baik sedikit.
Bisa jadi juga ada yang mencoba menempuh menjadi karyawan pemerintah, namun jadi tenaga honor atau yang diupah rendah. Begitu mencoba menempuh wiraswasta, tak juga kaya. Begitulah takdir.
Ada juga yang mencoba dari a sampai z, tembus ke a2 hingga z2 hingga melakukan perulangan dan bolak-balik, baru terbuka rejeki setelah menikah. Bisa jadi ada yang telah merasakan rejeki terbuka setelah menikah, lalu berpikir nikah saja banyak-banyak supaya rejekinya banyak, ternyata malah berantakan. Kok tidak sama dengan pelaku poligami yang harmonis yang muncul di media-media atau cerita-cerita orang? Namanya juga media dan cerita-cerita. Itu hanya potongan kisah. Siapa yang tau ujian kehidupan yang tak tampak di mata khalayak.
Seperti dunia ini tempat yang tidak ada benarnya. Memang dunia ini terkadang tempat yang terlaknat. Kalau mau segalanya nikmat ya surga. Jadi mati kah solusinya? Tidak ada yang menjamin, mati yang disegerakan atau diakhirkan masuk surga. Yang benar ya kembali lagi kepada apa yang bernilai untuk dunia dan akhirat masing-masing. Ilmu yang bermanfaat, rejeki yang baik, amalan yang diterima, amal baik yang lebih berat dari amal buruk, dan kondisi akhir yang tidak muflis, tidak singgah di neraka, tidak menderita di jembatan sirath, tidak perlu mempertanggungjawabkan apapun di qantarah, tidak mendapat hisab yang berat, tidak mengantri lama untuk dihisab, tidak tenggelam maupun mendapat beban yang berarti di padang mahsyar, tidak dibangkitkan dalam rupa yang buruk, tidak mendapat siksa kubur, dan tinggal di surga yang paling dekat dengan manusia terbaik (rasul) dan sidratul muntaha. Intinya mau yang enak dan paling enak, dan tidak mau yang sakit dan susah. Begitulah manusia. Namun jika di dunia kita biasa membayar dengan uang, adapun yang enak-enak tersebut harganya adalah takwa.
Mampukah manusia membayar dengan ketakwaan? Sebagian manusia mampu, hanya saja tidak mau.
Lantas apakah swasta lebih baik atau ASN lebih baik? Yang baik yang memungkinkan untuk kecukupan dan ketakwaan.
Bagaimana jika dua-duanya memungkinkan untuk kecukupan dan ketakwaan? Pilih yang lebih kecil mudharatnya dan lebih berat maslahatnya. Biasanya terkait kecocokan.
Mana lebih cocok ASN atau swasta? Swasta biasanya tidak panjang birokrasi, namun lebih kepada anda bisa apa? Apakah sesuai dengan demand dari tempat bekerja? Kalau ASN, anda punya ijazah apa? Apakah anda bisa mengikuti gravitasi pemerintah?
Manapun pilihannya, yang baik itu adalah menikmati dan mensyukuri apa yang dapat anda nikmati dan syukuri saat ini. Karena bisa jadi, esok itu anda akan merindukan nuansa-nuansa yang anda terbesit untuk dikeluh-keluhkan itu.
Dan sejak kapan tidak bersyukur itu enak?