(Is Under Constructions)
Masalah.
Selalu mengiringi makhluk hidup.
Solusi, relatif terhadap tingkat kebijaksanaan suatu ekosistem kehidupan.
Pada kehidupan binatang, di kehidupan liar, solusinya adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang.
Pada kehidupan manusia, apakah anda menemukan hukum rimba? Oh jika iya, mungkin yang anda temukan itu hanya kumpulan binatang yang wujudnya manusia. Bukan manusia.
Pada kehidupan manusia, hukum yang bijaksana yang secara normatif berlaku adalah hukum Yang Maha Bijaksana.
Apakah hukum yang diberlakukan relevan dengan hukum Yang Maha Bijaksana? Jika tidak berarti kondisi kumpulan manusianya sendiri tidak normatif (tidak normal).
Jika penegakan hukumnya sendiri tidak normal, maka rumit untuk dapat berlaku adil.
Namun dalam konteksnya domain ini, maka seyogyanya yang dibahas bukan perkara rumit.
Maka kita kembalikan saja pada asumsi jika segalanya normatif.
Masalah. Merupakan suatu kondisi yang memerlukan penyelesaian.
Penyelesaian masalah, normatifnya direalisasi dengan merealisasi suatu kebijaksanaan.
Kebijaksanaan, normatifnya merupakan perpaduan antara kebenaran, kebaikan dan kecerdasan.
Jika bicara benar, maka normatifnya kiblatnya kepada Yang Maha Benar. Jika bicara kebaikan maka itu bicara tentang akhlak. Jika bicara cerdas, maka itu sesuatu yang posisinya berada di atas pintar. Jika pintar itu berpengatahuan atau berwawasan, maka cerdas itu mampu melakukan pengkombinasian pengetahuan hingga mencapai tingkat hasil pemikiran yang lebih kompleks.
Maka, pada zaman dahulu, ada pernah orang yang dikenal sebagai bapak kebijaksanaan bagi sebagian besar manusia, namun dari sisi muslim yang lurus, ia dikenal sebagai bapak kebodohan. Abu Jahal.
Mengapa bisa perbedaan itu menjadi sangat kontras? Disebabkan dasar kiblat keilmuan. Dua kubu yang sama-sama berdalil, namun yang satu didasari keilmuan dengan paham yang lurus dan mengacu kepada Yang Maha Benar, sedang yang lain berkiblat pada nenek moyang & kebudayaan.
Jika pada zaman dahulu masih mudah dibedakan mana yang berkiblat pada paham yang lurus dan mana yang berorientasi pada nenek moyang + warisan kebudayaan, maka kondisi sekarang lebih berat lagi. Karena pada zaman sekarang sebagian hegemoni telah bercampur antara paham yang lurus lagi benar, dikombinasikan dengan paham nenek moyang dan warisan kebudayaan.
Maka, akan lebih mudah jika dikembalikan kepada kondisi normatif.
Normatifnya, masalah itu diselesaikan dengan realisasi kebijaksanaan yang murni berorientasi kepada paham yang lurus dari jalur pengetahuan Yang Maha Benar.
Kebijaksanaan itu ada penentu kebijakannya. Siapakah yang berwenang menjadi penentu kebijakan itu? Maka itu bicara tentang jabatan. Jabatan yang tugas pokok dan fungsinya yakni penentu kebijakan. Baik itu jabatan dalam cakupan sempit maupun luas. Baik itu secara hukum pidana maupun hukum perdata. Baik itu secara formal maupun non formal, semua ada jabatan atau status sosialnya.
Tinggal, siapa kita dalam masalah menentukan kebijakan? Apakah tupoksi kita sebagai penentu kebijakan? Jika tidak maka tentunya kita adalah yang hanya dapat memberikan masukan, aspirasi, kritik dan saran yang membangun. Dengan jalan yang transparan dan terbuka. Jika di luar itu (tidak membangun/ bernilai positif, tidak transparan dan tidak terbuka) maka kecenderungannya akan masuk ke hukum perdata bahkan dapat hingga hukum pidana jika di Indonesia. Atau jika dalam islam dapat merambah hingga ke hukum had, jinayat, qisas, yang semisal.
Yang secara normatif menjadi penentu kebijakan, lumrahnya adalah yang berkecimpung di bidang perumus produk hukum, pengesah, hakim, mahkamah dan yang semisal. Adapun dalam konteks yang lebih kecil lumrahnya ada di jajaran posisi status sosial atau jabatan kepemimpinan. Baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Apakah penyelesaian rumit? Bisa jadi hukum yang dianut untuk direalisasi, bukan hukum yang normatif (Yang Maha Benar). Melainkan hukum nenek moyang dan warisan kebudayaan. Atau jangan-jangan hukum binatang.